MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR
KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA
Disusun Oleh :
Nama
:
Dea Deriana
NPM : 39410112
Kelas
: 2-ID05
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan
tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik
dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan
demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera
menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan
terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar.
Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon,
Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara
untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan
bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan
dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain
dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara
hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian
kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial
masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar
untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama,
khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari
serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan
berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.
Kedua,
konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas
atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani,
pedagang, pengusaha dan pejabat.
Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi
hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu
analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut dan
upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan
oleh Karl Marx.
BAB II
PERMASALAHAN
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga
Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik
karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir
lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa
termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah
yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis
modern pada jaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa
sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa dan sekaligus
mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an, ekonomi
Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong
pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian
negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan
politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak
tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang
terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam
persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun mengabaikan
hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social
cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk
yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di
banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat
yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang
berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan
stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan—telah
menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya
terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi
terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa,
kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur Asing dan
Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak
warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga
Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa
oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan
yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan
warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah
dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah
menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi
dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang
dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan
posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim
telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan
melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam
ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah
menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam
selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru
dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat
berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang
yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat,
demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh
tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah
kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga
menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam
tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih dengan dilakukannya
pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru adalah
penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan
sangat dahsyat.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya
penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni
perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu
sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau
material semata.
BAB III
PEMBAHASAN
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya
terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan
sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan
sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada
saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur
sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga
konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku,
ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka,
melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara
kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka
dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang
sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan
sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial
secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama
terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan
atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan
politik.
Segi-segi
pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai
masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang
mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam
pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas
ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur
tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam
struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para
pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan,
yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah,
pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi
yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh
yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk
kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan
struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai
ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan
berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan
berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh
munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma
ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol
dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi
(seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu
dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk. Dalam konflik
Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain
dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini
Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong
dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang
“lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong
merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara
komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan
secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya
dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara
kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan
suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx,
validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar
filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan
“kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang
berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk
jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang
pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak
mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu
perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas
merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu
terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya.
Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat
jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata
terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan
yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat
serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu
kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi
(dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses
pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32
tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner”
berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan
yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka
tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi
bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang
dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi
kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang
sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap
teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang
tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan
adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar
dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran
dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur
sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi
antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan
kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya
anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa
perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah
runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok
yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang
dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa
penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan
masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya
saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx
melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa
dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang
lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka
yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan
orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur
dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan
dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut
bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling
ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau
mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat
Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx,
pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari
orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang
berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa
(pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang
memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx
menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa
dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan
kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak
dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai
sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini,
kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan
struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi
filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan
keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang
atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi :
alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh
kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri.
Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya
menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau
orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh
dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari
majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa
menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun
argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada
abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan
empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya
yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar.
Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis
mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta
asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris
yang saling bertentangan.
BAB IV
PENUTUP
Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat
kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan bagi
penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik yang
ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang
ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.
Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di
Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara
kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui
provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara
kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan
material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan
di muka.
Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama,
maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan
obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan suatu
kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan
masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah
satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut
agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia,
selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang Islam atau Kristen yang
ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks teori
konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau
konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik —yang
seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam dua versi, versi pertama adalah
ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen (misalnya pada saat
L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu
ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa
jayanya Masyumi atau ketika ICMI mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah
jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam
alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu
dengan sendirinya.
Gejolak antar golongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi,
tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama oleh karena kebijakan
ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat kemakmuran 210 juta
rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak besar pada
kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini.
Jalan kekerasan seperti yang dilakukan pada rejim Soekarno
dan Soeharto, seharusnya tidak dipergunakan lagi di masa kini. Jikapun terpaksa
dilakukan, biasanya dilakukan lebih merupakan kebijakan terakhir (policy of
the last resort) atau senjata pamungkas (ultimum remedium) yang
hanya dipakai jika lawan politik rejim yang berkuasa dianggap sudah tidak dapat
diisolasi kembali atau terlalu merongrong kewibawaan pemerintah.
Tantangan yang dihadapi Gus Dur, atau siapa saja yang
menjadi presiden pada masa reformasi jelas lebih rumit. Sebab Presiden sekarang
tidak mempunyai alat-alat kekerasan yang kebal hukum, yang bisa bertindak
semena-mena seperti pernah dilakukan oleh ABRI sebagai alat dari pemerintahan
otoriter. Presiden kini hanya memiliki tiga alat utama untuk berpolitik :
pengabsahannya sebagai presiden demokratis, kebijakan ekonomi yang bisa
menciptakan kemakmuran umum sebagai basis bagi dukungan politik selanjutnya dan
keterampilan taktis untuk menggalang dukungan tersebut.
Kegagalan para pemimpin partai pada masa demokrasi
parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan demokrasi
di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana
memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.
Para
politisi yang berkuasa pada masa kini sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih
baik tentang apa yang harus mereka lakukan, terutama pemerataan di bidang
ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—dan partisipasi politik rakyat, yang
menurut Marx terbukti merupakan faktor yang sangat penting dalam mengeliminasi
kemungkinan terjadinya konflik.
Namun terlepas dari teori Marx, dari uraian tersebut di
atas, maka dapat ditarik suatu benang merah yang perlu diperhatikan, yaitu :
adanya aturan-aturan kapitalisme domestik dan global, merupakan suatu kenyataan
ekonomi universal yang tak terelakkan dan suatu kesempatan emas bagi Pemerintah
Indonesia untuk memakmurkan masyarakatnya sambil menciptakan stabilitas politik
yang demokratis. Diseluruh dunia, penantang kapitalisme dan pengabaian hak-hak
politik rakyat, sudah kalah telak dan tidak lagi menawarkan alternatif yang
bisa dipercaya, bahkan Republik Rakyat Cina telah memberlakukan sistem
perekonomiannya menjadi kapitalis. Rupa-rupanya RRC belajar banyak dari
peristiwa runtuhnya Rusia, oleh karena telah melakukan kesalahan fatal dengan
melakukan suatu “Big Jump” melalui Revolusi Rusia pada paruh pertama abad ke-20
(±1917-an), dimana masyarakat Rusia yang pada saat tersebut sebagian besar
masih dalam tahapan Feudal Society ingin segera melompat (big jump)
menuju scientific communism society. Padahal Marx mengajarkan bahwa,
perkembangan masyarakat harus melalui tahapan-tahapan linier yang dimulai dari ancient
communism society hingga menuju scientific communism society, dimana
sebelum menuju scientific communism, harus terlebih dulu melewati
tahapan Capitalist Society, suatu hal yang tampaknya dilakukan oleh RRC
saat ini, dan selamat hingga saat ini.
Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri” Indonesia,
tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya sekuat
mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun cara-cara
kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan
orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang
dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah
menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi sebagai semacam floor
(landasan) bukan ceiling (plafon). Ia merupakan—kalau bukan sebagai
syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah
nasional yang modern pada jaman reformasi ini. Pemerataan kemakmuran
dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja,
yang pada gilirannya kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme
domestik dan internasional.
Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan datang dengan
sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus diperjuangkan, antara
lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru, penggalangan kekuatan
politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di tingkat legislatif dan
eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan efektif oleh
administrasi negara.
Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis politik
indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi substantif,
harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa reformasi telah
membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan cara-cara baru untuk
mewujudkannya.
BAB V
KESIMPULAN
Cara-cara
Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam
mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian
saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama.
Bentuk-bentuk akomodasi :
1.
Gencatan senjata, yaitu
penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu
pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan
perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan
perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2.
Abitrasi, yaitu suatu
perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat,
bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka
pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.
Mediasi, yaitu
penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
Contoh : PBB
membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia
dengan Belanda.
4.
Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja.
Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh,
hari-hari libur, dan lain-lain.
5.
Stalemate, yaitu keadaan ketika
kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu
berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena
kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai
contoh : adu senjata antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1.
Elimination, yaitu pengunduran
diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan
ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
2.
Subjugation atau domination, yaitu orang atau
pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak
lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang
memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
3.
Majority rule, yaitu suara terbanyak yang
ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
argumentasi.
4.
Minority consent, yaitu kemenangan kelompok
mayoritas
yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas.
Kelompok minoritas
sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama
dengan kelompok mayoritas.
6.
Integrasi, yaitu mendiskusikan,
menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu
keputusan yang memaksa semua pihak.
0 komentar:
Posting Komentar