BAB 1
PENDAHULUAN
Rule
of law adalah istilah dari tradisi common law dan berbeda dengan persamaannya
dalam tradisi hukum Kontinental, yaitu Rechtsstaat (negara yang diatur oleh
hukum). Keduanya memerlukan prosedur yang adil (procedural fairness), due process
dan persamaan di depan hukum, tetapi rule of law juga sering dianggap
memerlukan pemisahan kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia tertentu dan
demokratisasi. Baru-baru ini, rule of law dan negara hukum semakin mirip dan
perbedaan di antara kedua konsep tersebut menjadi semakin kurang tajam.
Rule
of law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara-negara yang menganut
system seperti Inggris dan Amerika Serikat, kedua negara tersebut
mengejewantahkannya sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan
derajat dalam suatu negara di hadapan hukum. Hal tersebut berlandaskan pada
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), di mana setiap warga negara dianggap sama
di hadapan hukum dan berhak dijamin HAM-nya melalui sistem hukum dalam negara
tersebut.
Rule
of law jamak diartikan sebagai penegakan hukum, dimana segala sesuatu harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum. Aturan atau kaidah dilaksanakan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Secara kontras berbeda dengan rule by law yang berarti
penegakan hukum disesuaikan dengan aturan atau kaidah yang berlaku. Saya
memahaminya, bahwa dalam rule by law, hukum merupakan panglima terhadap kaidah,
sedangan dalan rule by law, kaidahlah yang menjadi panglima bagi hukum. Demi
rule of law, dibutuhkan ketegasan penegak hukum-tidak pandang bulu, tegas dan
tajam. Sementara, dalam rule by law, sarat dengan kepentingan. Hukum
dikondisikan dapat mengamankan kebijakan kekuasaan. Dalam rangka mengamankan
kebijakan kekuasaan maka hukum-hukum baru diciptakan. Sesuai atau tidak dengan
kaidah hukum atau tidak, bukanlah menjadi pertimbangan penting, bahkan di
sengaja dikesampingkan. Rule of law kental dengan muatan aspek keadilannya,
sementara rule by law, kental dengan berbagai bentuk diskriminasi dan pemaksaan
kehendak penguasa terhadap objek yang dikuasainya, yaitu rakyat. Lebih jauh
dapat dijelaskan sebagai berikut “Rule by law is prudential: one rules by law
(properly speaking) not because the law is higher than oneself but because it
is convenient to do so and inconvenient not to do so. In rule of law, the law
is something the government serves; in rule by law, the government uses law as
the most convenient way to govern”.
Lalu,
bagaimana kita melihat produk hukum kita saat ini. Pergantian era, dari Orde
Baru, ke Era Reformasi ternyata belum juga menunjukkan kesungguhan penguasa
memahami arti sebenarnya rule of law. Berbagai produk hukum seperti
Undang-undang, Kepmen, maupun Perda-perda, masih sarat dengan nafas rule by
law. Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat dipersalahkan
jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. Rule of law mengandung
asas "dignity of man" yang harus dilindungi dari tindakan
sewenang-wenang pemerintah/penguasa. (Oemar Seno Adji, 1980). Inti dari rule of
law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, di mana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa
aman, dan dijamin hak-hak asasinya.
Banyak
peristiwa pada saat ini yang menjadi dasar perlunya rule of law atau penegakan
hukum. Indonesia pada saat ini, mengalami permasalahan yang besar dalam hal;
illegal logging atau pencurian kayu dari hasil hutan. Pencurian hasil hutan ini
mengakibatkan kerugian negara lebih Rp 100 triliun dalam empat tahun terakhir.
Mengapa hal ini terjadi? Lemahnya penegakan hukum menjadi jawabannya. Hutan
memang dalam wewenang Departemen Kehutanan, namun luasnya hutan tidak mungkin
ditangani departemen ini sendiri, dibutuhkan bantuan kepolisian, bahkan TNI.
Pencuri hasil hutan ini juga tidak jera, karena hukuman yang ringan, atau
sulitnya mencari bukti. Dalam hal ini peranan kejaksaan, dan lembaga peradilan
menjadi sangat penting.
Kasus
lainnya yang menunjukkan perlunya penegakan hukum adalah kemauan Pemda DKI
dalam rangka membatasi ruang bagi perokok. Peraturan daerah sudah dibuat dan
dinyatakan berlaku, namun banyak masyarakat yang mengabaikan. Mengapa demikian?
Jawabannya juga lemahnya penegakan hukum, terbatasnya jumlah aparat dan
koordinasi aparat hukum, sehingga kantor yang tidak menyediakan ruang untuk
merokok atau orang yang merokok di tempat umum tidak dapat ditindak.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Rule Of Law
Indonesia
sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law dalam
negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang terlibat
dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala kebobrokan
masa lalu dan menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang baru, yang
memiliki the rule of law dalam negaranya.
Konstitusi
dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil
“government by laws, not by men” yang artinya pemerintah berdasarkan hukum
bukan, bukan berdasarkan kemauan penguasa. Abad 19 dan permulaan abad 20 gagasan
mengenai perlunya pembatasan kekuasaan mendapat landasan yuridis. Sejak ahli
hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immannuel Khant (1724-1804) dan Fredrich
Julius Stahl memakai istilah rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti AV
Dicey memakai istilah rule of law. Empat pilar demokrasi yang didasarkan
rechsstaat dan rule of law dalam arti klasik adalah :
1.
Penghargaan terhadap hak asasi manusia.
2.
Pemisahan dan pembagian kekuasaan yang popular dengan “trias politica.
3.
Pemerintah berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan ( Miriam Budiardjo, 1983:57)
Sebagai
perbandingan pilar-pilar demokrasi yang didasarkan konsep rule of law menurut
AV Dicey adalah :
1.
Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang.
2.
Kedudukan yang sama dalamhukum (dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun
untuk pejabat)
3.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang.
Ada
tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja,
akan tetapi lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh ada tidaknya
keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat. Rule of law tidak saja
hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan
tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh
kenyataan, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti
perlakuan yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari
pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adanya jaminan keadilan yang
dirasakan oleh masyarakat/bangsa. Rule of law merupakan suatu legalisme yang
mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem
peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal
dan otonom.
Fungsi
rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa
keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga ‘’keadilan sosial’’, sehingga diatur
pada pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan
negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan
bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan
dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik
di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa
keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran
prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD
1945, yaitu:
a.
Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);
b.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat1);
c.
Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal
27 ayat 1);
d.
Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 ayat 1);
e.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 ayat 2).
Pelaksanaan
rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa
keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara
hakiki (materiil), yaitu dalam arti ‘’pelaksanaan dari just law.’’
Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya
dengan ‘’the enforcement of the rules of law’’ dalam penyelenggaraan
pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip
rule of law.
Berdasarkan
pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan
‘’the enforcement of the rules of law’’ tergantung pada kepribadian nasional
masing-masing. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan
institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar
budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu
aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan
tentang hubungan antar manusia, masyarakat dana negara, yang dengan demikian
memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya sendiri.
Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui
pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak
memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di
negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal,
sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum
dirasakan sebagian besar masyarakat.
Minimal
Tiga Hal Untuk dapat mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus
melakukan minimal tiga hal, yaitu;
Pertama,
hukum di Indonesia harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Maksudnya,
sejak dari proses legislasi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) para wakil rakyat
harus bisa mengejawantahkan aspirasi keadilan rakyat dalam rancangan
undang-undang yang sedang dikerjakannya. Hukum yang diciptakan harus responsif
terhadap tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan hukum yang diciptakan harus
bersih, murni dari intervensi politik, ekonomi, dan kepentingan sekelompok
orang.
Kedua,
Indonesia harus menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur, adil, dan bersih
dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sistem peradilan Indonesia saat ini
belum dilaksanakan sebagaimana mestinya karena kurangnya pemahaman dan
kemampuan atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam
sistem peradilan, baik penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan
masyarakat pencari keadilan.
Proses
peradilan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia memiliki
asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya semua itu
hanya menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia telah
terkontaminasi oleh "mafia peradilan". Jika ini semua belum dapat
diberantas mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang akhirnya
dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan pembubaran TGTPK
oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat melukai rasa keadilan
masyarakat.
Akses
Publik Ketiga, Akses publik
ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif Indonesia telah merumuskan
sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang terlibat dalam proses peradilan
pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak yang diberikan kepada pencari
keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara
lain, dan umumnya mengikuti norma dan prinsip dalam instrumen internasional.
Akan tetapi dalam banyak peristiwa justru kewenangan yang dijalankan oleh
aparat penegak hukum tersebut telah disalahgunakan sehingga merugikan hak para
pencari keadilan. Sejumlah kenyataan lain yang sering dijumpai adalah awal
pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi, meremehkan keterangan yang diberikan,
dan lain sebagainya. Tidak jarang pula pemeriksaan terhadap tersangka memiliki
kendala yang dialami oleh penyidik. Salah satunya yang sering muncul adalah
tersangka dengan sengaja mempersulit jalannya pemeriksaan. Ini mengakibatkan
polisi sebagai penyidik menggunakan berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak
agar penyelesaian dapat berjalan cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule
of law, akses publik ke peradilan jelas harus ditingkatkan.
2.2 Masyarakat Madani
Ungkapan
lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini,
seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai
dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru, yang
berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan
masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid,
Abdulrahman Wahid, A.S. Hakim, Azyumardi Azra dan lain-lain, banyak
mengemukakan tentang tatanan masyarakat madani, setelah istilah dan konsep
diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia.
Namun demikian, mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Membentuk masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu
serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri
secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Masyarakat
madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society
sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi
dan Society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata
civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat
diartikan komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban
maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid; seperti yang dikutip Mahasin
(1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh
masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat
nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang
kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional
penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan
suka menindas, serta sifat-sifat negatif lainnya. Gellner (1995) menyatakan
bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat yang
harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat
madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan
kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota
masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya,
semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan
menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk
sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kazaliman dan dominasi para penguasa
menjadi ciri utama masyarakat madani.
Sementara
itu, Seligman (Mun’im, 1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai
seperangkat gagasan etis yang mengejewantah dalam berbagai tatanan sosial, dan
yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan
berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan
civil society menurut Havel (Hikam, 1994) ialah rakyat sebagai warga negara
yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan
penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan
penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan
solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan monolitik.
Secara normative politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan
kembali pemahaman asasi bahwa rakyat, sebagai warga negara memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan
atas nama pemerintah.
Istilah
Madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madany. Kata
madany berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau
membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang
kota, orang sipil dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian,
istilah madaniy dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama
dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik
dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu
komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social. Dalam masyarakat
madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan.
Hefner (1998) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern
yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat diharapkan
mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan
peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi
global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya
memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika
dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi,
berpartisipasi, konsisten, memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi,
sederhana, sinkron, integral, mengakui emansipasi, dan hak asasi, namun yang
paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Menurut
Srijanti et. all. (2007) karakteristik masyarakat madani antara lain:
(1) diakui semangat pluralism. Artinya pluralitas
telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat diletakkan, sehingga mau
tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain,
pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme
bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan
merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam
keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan
penting adalah sebuah perdaban yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia
memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sekitar. Namun, identitas sejati atas parameter otentik
agama tetap terjaga;
(2)
tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap
umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka
mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal
itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata
mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling
menghormati satu sama lain;
(3)
tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan,
demokrasi adalah suatu pilihan bersama-sama membangun, dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat
madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup
berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup
modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang
baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan
menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, dan lembaga
masyarakat.
Pengembangan
masyarakat madani di Indonesia tidak bias dipisahkan dari pengalaman sejarah
bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup,
kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan
sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya.
Lingkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa Indonesia, sudah diketahui
baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui keunggulan dan kelebihannya.
Di antara keunggulan bangsa Indonesia adalah berhasilnya proses akulturasi, dan
inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Hidayat Nur Wahid (Srijanti et.all.,
2007) mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh
ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat
mandiri serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri
masyarakat madani adalah:
(a)
adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu dan kelompok masyarakat terhadap negara;
(b) adanya kebebasan menentukan wacana dan
praktik politik di tingkat publik; dan
(c)
kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Untuk
membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus
diperhatikan, yaitu:
(1)
adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan
masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan;
(2) tumbuhnya intelektualitas dalam
rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen;
(3) terjadinya pergeseran budaya dari
masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan
lebih independen;
(4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan
yang beragam;
(5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan
tata pamong yang baik dan;
(6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
yang melandasi moral kehidupan.
1 komentar:
assalamualaikum..
izin copas y?
trima kasih
Posting Komentar